A Woman With A Turban
Perempuan Berkalung Surban
Muqaddimah
Mungkin sudah tidak asing lagi dengan judul di atas bukan? Yups, the title above is a film directed by Hanung Bramantyo. Launching film tersebut dimulai sejak tanggal 15 Januari 2009 dan saya menontonnya tanggal 20 Januari kemaren.
Semula sih saya pengennya nonton bareng si dia (ahakz ahakzzz) tapi berhubung si dia nun jauh di sana ya akhirnya My Momlah yang nemenin saya. Alhasil romantis-romantisan dueh sama My Mom. Heheheheheeee.
Tiba di Amplaz around 03.40 pm. Udah tau ciy filmnya mulai jam 04.20 pm, wong sebelumnya udah klik www.21cineplex.com tapi ya karena sebagai seorang akhwati sejati tentunya pengen cuci mata dulu. Maka setelah parkir di basement saya dan My Mom langsung cabut ke Carrefour. My Mom ciy asik-asik aja beli ini dan itu sementara saya Cuma muter-muter ga jelas seperti anak kecil lima tahunan yang ngikut ibunya belanja. Langkah saya sedikit terseok-seok mengekor ibu saya yang lincah gila cin kalo pas belanja mah. Pikir dipikir…..mau beli apa yak? Secara belum lama ini juga dah belanja keperluan akhwat di Alfamart. Tengok kanan tengok kiri akhirnya nafsu pengen beli (halah kok nafsu ciy) terpancing juga setelah nemuin salah satu underwear *sensored* cewek terpajang rapi di dekat kasir. Pengen beli aaaahh.
Singkat cerita…
Setelah selesai belanja buat keperluan sehari-hari saya dan ibu langsung meluncur ke Twenty One. Ga terlalu rame ciy secara bukan hari libur. Setelah beli dua tiket saya masih sempet merhatiin film apa aja yang tayang hari itu. Yaelaahh lagi-lagi film horror Indonesia. Kaya ngga ada tema laen aja selain “horror”. Mbok ya bikin film Indonesia yang lebih variatif dan edukatif gitu lhoo. Biar kami-kami ini sebagai penikmat film bisa ikut pinter dan juga merasa berbangga hati dengan produk dalam negeri (lhaa malah sensi). Hehehee sudahlah, ngga suka ya ngga usah nonton. Gitu aja kok repot. Toh yang suka juga lebih banyak lagi. Jadi kalo cuma kehilangan satu tiket dari kamu mah ga ngaruh kaleee. Tetep aja para produser dan PHnya kebanjiran duit. Lhooo, malah ngomong sendiri. Wes ah, mau ke toilet dulu. *sensored*
Warming Up
Yeah, finally duduk di row C seat 13 dan ibu di seat 14. Sengaja ciy milih yang tinggian cuma yang saya baru nyadar ternyata saya duduk di seat 13. Lhoooo lhooooo mang ada apa dengan angka 13? Banyak yang bilang katanya angka 13 angka sial, ah saya tidak percaya. Semua bilangan itu milik Allah. Justru menurut saya angka 13 itu sangat spesial karena sejak sejak SMP sampai SMK nomor urut saya di kelas selalu 13. Bahkan sifat wajib Allah pun ada 13. Jadi siapa bilang 13 adalah angka sial?? Okey, forget it….(kok jadi ngotot gitu ciy Shaa?)
Nonton!!! Nontooooon!!!!!
Uuuuwwwhhh!!! Seru banget! Dimulai dari adegan naik kuda Si Nisa kecil di tepian pantai gitu. Yup, Nisa tokoh utama di film ini memang udah keliatan strong banget sedari kecil. Dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang religius namun sangat didominasi oleh kaum laki-laki membuat Nisa tumbuh menjadi seorang pemberontak. Ilmu agama yang didapatnya sehari-hari ia rasakan sangat diskriminatif, lebih membela kaum laki-laki dan menyudutkan kaum perempuan. Hingga suatu ketika Nisa berkata dengan sedihnya “Allah hanya membela kaum laki-laki”
Semua itu wajar karena sebagai bungsu dari tiga bersaudara dan juga sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarganya Nisa sering mendapati perlakuan berbeda dari kedua kakaknya yang laki-laki. Misalnya ketika Nisa kecil menyatakan keinginannya untuk naik kuda sewaktu makan malam keluarga dan sang Abi yang seorang Kyai menolak dengan keras keinginan Nisa tersebut dengan alasan bahwa seorang perempuan terlebih anak seorang Kyai tidaklah pantas berbuat demikian. Ketika Nisa yang kritis menanyakan pada Abinya kenapa seorang anak Kyai tidak boleh naik kuda sang Abi langsung marah dan memukul meja tanpa memberikan jawaban yang bisa diterima oleh logika. Atau ketika Nisa kabur dari kelasnya karena kesal terhadap keputusan gurunya yang menunjuk teman laki-lakinya sebagai ketua kelas. Padahal sudah jelas perolehan suara Nisa mengungguli lawannya. Dengan dalih seorang perempuan tidak boleh memimpin maka dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap Nisa (kata si guru waktu itu) diputuskanlah yang menjadi ketua kelas adalah murid laki-laki. Begitu mendengar keputusan gurunya Nisa kecil langsung meninggalkan kelas dengan kesalnya. Ia merasa gurunya tidak adil dan sesampainya di rumah ia masih harus menerima hukuman dari ayanhya dengan disiram air di kamar mandi. Umminya yang melihat kejadian itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Singkat kata singkat cerita Nisa sekarang sudah tumbuh menjadi remaja puteri yang cantik, pinter dan juga pemberontak (Eh ko mirip ma ana yakz??? Hakz hakz hakz mirip pembangkangnya doank ciy, pinter ma cantiknya mah laen cerita). Selama ini Nisa selalu menjalin komunikasi dengan cinta masa kecilnya, Khudori yang melanjutkan studinya di Cairo. Jangan bayangkan komunikasinya pake SMS ya coz setting film ini di era 90-an gitu. Jadinya masih pake Pak Pos gitchu. Gokilnya, yang jadi pegawai kantor posnya adalah The Director film ini sendiri yaitu Mas Hanung Bramantyo (Halah sok akrab gitu yak?? Peace ya Boss!!). Durasi penampakannya ngga lama ciy dan gokil Abislah. Keknya Mas Hanung punya talenta laen yang selama ini ga banyak diketahui orang yaitu –ngelawak- Huhuhihiiii. Bagi yang belum nonton film ini, sok atuuuhh neeeengg, akaaangg, buruan tancep gas biar ga pada mati penasaran (Hiperbolis banget yakz).
Oia, back to topic yuuu. Nisa yang sudah lulus sekolah menengah atas ternyata dapat bea siswa buat nerusin kuliah di Kota Gudeg (Kotaku tercintahh). Keinginan untuk kuliah di Jogja pun diutarakan kepada Abinya. Abinya menanggapi permintaan Nisa itu dengan sikap dingin. Baginya seorang perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi. Nanti ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga juga. Lagipula untuk kuliah di Jogja Abi tak mungkin membiarkan Nisa sendirian, harus ditemani muhrimnya. Mendengar jawaban Abinya itu Nisa kecewa. Lagi-lagi ketidak adilan yang harus ia terima. Untuk membiayai kuliah kedua kakaknya di Al Azhar, Mas Reza dan Mas Wildan saja Abi sampai rela menjual tanah dan berhutang sana-sini sementara untuk mengizinkan Nisa kuliah di Jogja tanpa mengeluarkan biaya kuliah Abi begitu beratnya. Hingga di suatu malam rumah kedatangan tamu. Suasana tampak begitu hangatnya. Rupanya tamu itu teman Abi. Orang yang selama ini banyak mamberikan bantuan kepada Pesantren Abinya, Al Huda. Ummi meminta Nisa keluar menemui tamu tersebut. Jelaslah kini bahwa Nisa akan dijodohkan dengan Samsudin, putera teman Abi tersebut. Mengetahui hal itu Nisa menolak. Semua itu bukan semata-mata karena Nisa mencintai Khudori melainkan karena masih banyak cita-cita yang ingin Nisa raih. Nisa masih ingin mencari ilmu. Mendapati penolakan Nisa, Abi pun marah dan tetap memaksa Nisa menerima perjodohan tersebut. Dalam pandangan Abi, Nisa akan hidup bahagia dan berkecukupan jika menikah dengan Samsudin. Keinginan Nisa untuk kuliah pun sudah pasti akan dikabulkan oleh suaminya. Kini tak ada pilihan lain bagi Nisa melainkan menikah dengan Gus Udin, begitu masyarakat memanggil Samsudin.
Empat tahun menikah ternyata bukanlah kebahagiaan yang Nisa peroleh. Samsudin ternyata berperangai sangat buruk meskipun ia seorang sarjana dan juga putera Kyai. Setiap hari ia pulang dalam keadaan mabuk. Tangannya begitu terlatih bertindak kasar pada isterinya. Bahkan tak jarang ia menggunakan kekerasan ketika meminta Nisa melayaninya di atas ranjang (Wewww, konotasinya jadi negatip gini yakz?). Penderitaan Nisa mencapai puncaknya ketika seorang wanita bernama Kalsum mendatangi rumahnya. Sembari memegangi perutnya yang membuncit dia mengatakan bahwa janin yang dia kandung adalah anak Samsudin. Nisa pun tak sanggup berkata apa-apa lagi.
Musyawarah keluarga pun diadakan di rumah mertua Nisa. Ayah mertua Nisa tampak terpukul mengetahui perbuatan anaknya. Setelah menghela nafas dia berkata bahwa dalam Islam seorang laki-laki diperbolehkan menikah empat kali selama mampu bersikap adil. Samsudin menyatakan sanggup berbuat adil. Mendengar itu Nisa meminta talaq. Akan tetapi permintaan itu tidak disetujui oleh pihak keluarga Samsudin. Bahkan ibu Samsudin (diperankan oleh Ida Leman) menyindir Nisa dengan berkata, “Seorang suami tak akan tertarik kepada perempuan lain kalau istrinya bisa memuaskan suami.” Maka tak ada pilihan lain bagi Nisa selain merelakan suaminya menikah lagi.
Waktu terus berlalu. Ayah Nisa mulai sakit-sakitan. Hal itu membuat Nisa harus sering mengunjungi rumah orangtuanya. Kepulangan Nisa ke rumah tidak membuatnya lantas mengadukan penderitaan yang selama sekian tahun dia alami. Moment pulang ke rumah inilah yang kembali mempertemukan Nisa dengan Khudori yang telah menyelesaikan studinya di Cairo. Pertemuan penuh haru itupun membuka tAbir yang selama ini menyelimuti hati keduanya. Khudori yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Ummi Nisa ternyata selama ini tidak cukup berani untuk meminang Nisa yang ia sayangi karena ia bukanlah putera seorang Kyai. Nisa hanya terisak mendengar pengakuan Khudori tersebut. Pertemuan pertama setelah bertahun-tahun tidak berjumpa itu berlanjut pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Di pertemuan yang ke sekian kali inilah musibah terjadi pada keduanya. Peristiwa itu terjadi ketika Samsudin memergoki Nisa yang tengah menceritakan penderitaan yang selama ini ia alami kepada Khudori di suatu tempat penyimpanan kayu bakar. Samsudin yang kalap segera memukuli Khudori. Kejadian itu sontak menggegerkan seluruh penghuni pesantren, tak terkecuali Abi dan Ummi Nisa. Semua orang berkumpul untuk menyaksikan apa yang terjadi. Di depan semua orang Samsudin mengatakan bahwa istrinya telah berzina dengan Khudori. Nisa dan Khudori tidak bisa berbuat banyak untuk membela diri. Mereka pun dihujani batu. Melihat kondisi yang demikian Ummi yang selama ini diam menunjukkan keberanian dan ketegasan sikapnya. Ia yakin Nisa tidak bersalah. Dengan tegar ia minta semua kegaduhan itu dihentikan. Setelah semuanya terdiam Ummi (diperankan oleh Widyawati) dengan gemetar berkata, “Yang boleh melempar hanya mereka yang tidak punya dosa.” Semua hening. Tidak ada satu pun yang berani melempar batu lagi. Di saat itulah tiba-tiba tubuh Abi roboh. Inilah scene yang benar-benar membuat saya terharu. Speechless bangetlah pokoknya. Sampai di sini saya benar-benar menangis. Subhanallah….film ini sungguh-sungguh menggugah nurani saya.
Setelah Abi meninggal Nisa dan Khudori meninggalkan kampungnya. Mereka pergi terpisah dengan membawa asanya masing-masing. Selanjutnya kota Jogjakartalah yang akan menyatukan mereka kembali. Mereka kemudian menikah dan dikaruniai seorang anak. Jangan berpikir ini adalah ending yang indah dari film ini karena ketegangan-ketegangan masih akan berlangsung. Konflik-konflik yang dikemas apik masih akan terus bermunculan. Untuk mendapatkan ending sesungguhnya pada film ini Anda sebaiknya segera menonton dan reguklah secercah hidayah itu….
Have a priceless moment, all!!!!!!!!!!!!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar